Presiden KSBSI Hadiri Pertemuan KTT Summit IEA di Paris, Ini Intervensinya



MBIndonesia.com, Jakarta - Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban menghadiri pertemuan International Energy Agency (IEA) di Paris Prancis pada 25-26 April 2024.

Presiden KSBSI hadir sebagai salah satu anggota Dewan Buruh Energy Bersih atau IEA Clean Energy Labour Council mewakili serikat pekerja/buruh negara anggota IEA, dimana peran dan masukan buruh sangat krusial dalam upaya pencapai target transisi energi global.

"Kami melakukan meeting dengan anggota Dewan Buruh Energi Bersih negara-negara anggota IEA. Agenda ini menjadi forum untuk berdiskusi dan memberikan masukan tentang upaya-upaya percepatan transisi energy bersih." kata Elly Rosita Silaban saat dihubungi melalui pangilan telepon pada Jum'at (26/04/2024).

Elly Rosita Silaban menambahkan bahwa sebagai perwakilan buruh dan pekerja, tentunya tentunya akan membawa suara atau kepentingan buruh dengan menyuarakan tentang konsep transisi energi yang berkeadilan.

Dalam rangkaian agenda International Energy Agency (IEA) Global Summit on People-Centred Clean Energy Transitions juga dihadiri oleh Menteri ESDM yang menjadi salah satu pembicara kunci yang berbicara tentang Responding to Shifting Labour Dynamics. 

Pemerintah Indonesia menegaskan tentang komitmennya dalam membuka ruang kolaborasi untuk capai target transisi energi. Mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) dan memensiunkan sumber energi fosil secara bertahap. 

Indonesia juga berkomitmen untuk mendukung upaya transisi energi global, dengan menetapkan target reduksi emisi hingga 43% pada 2030. Pemerintah Indonesia kini sedang menyiapkan 2nd Nationally Determined Contribution (NDC) dengan target penurunan emisi yang lebih ambisius. 

Dalam kesempatan tersebut, Elly Rosita Silaban mengatakan bahwa transisi menuju emisi nol bersih memberikan dampak yang tidak proporsional terhadap masyarakat terutama masyarakat yang rentan yakni pekerja dan masyarakat. 

"Salah satu kegagalan mitigasi dan adaptasi adalah karena banyak negara memandang transisi ekonomi hanya sebagai pergantian dari satu industri ke industri lainnya. Namun kurangnya perspektif sosial menghalangi penanganan akan dampaknya terhadap masyarakat sekitar." kata Elly Rosita Silaban.

Elly menambahkan bahwa tampaknya semuanya sedang dibahas, namun gagal untuk menangkap secara rinci bagaimana menerjemahkan komitmen yang dibuat untuk inklusi. Transisi ekologis menghadapi hambatan karena kekhawatiran akan dampak sosialnya. Hal ini tidak dilihat sebagai peluang untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial, melainkan sebagai ancaman bagi pekerja dan masyarakat lokal.

"Misalnya saja target menuju nol emisi di Indonesia. Khusus di sektor pertambangan, serikat energi kami menyebutkan, hingga saat ini belum ada informasi yang diberikan oleh pemerintah atau perusahaan mengenai transisi energi di sektor tersebut, meskipun mereka diberitahu akan ada penghapusan industri batubara pada tahun 2030. Sejauh ini, yang ada hanya pembicaraan namun belum ada keterlibatan yang berarti." jelas Elly.

Bahkan Elly Rosita ISlaban dalam forum tersebut mengusulkan agar pemerintah wajib memberikan panduan, setidaknya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kaum buruh.

"Seperti dukungan seperti apa bagi pekerja dan komunitas lokal yang terkena dampak, perlindungan sosial seperti apa, jenis pelatihan dan keterampilan apa yang diberikan, berapa lama pelatihannya, jenisnya. Lalu manfaat, siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan pelatihan, mekanisme pendanaan untuk fasilitas kerugian dan kerusakan dan lainnya perlu diadopsi pada saat transisi energi dan metode untuk keterlibatan." ungkap ELly.

Menurutnya, perlunya mengupayakan mekanisme yang jelas untuk melakukan dialog sosial dalam transisi energi untuk memfasilitasi mitigasi dan adaptasi yang lebih cepat. Sebab selama ini hal tersebut merupakan salah satu tantangan utama yang dihadapi serikat pekerja di banyak negara.

"Di Indonesia, serikat pekerja mengalami kesulitan dalam melibatkan lembaga kementerian yang tepat untuk membahas permasalahan ini, karena banyaknya kementerian yang terlibat. Kita sangat membutuhkan koordinasi, perencanaan, dan pembuatan kesepakatan lintas kementerian." pungkasnya. (sumber ksbsi.org)



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama